TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri blak-blakan menjelaskan penyebab mendasar kuota BBM subsidi selalu cepat habis dari tahun ke tahun, hingga menekan APBN akibat melonjaknya anggaran subsidi dan kompensasi energi.
Faisal Basri mengatakan hal tersebut karena harga jual eceran BBM bersubsidi yang disalurkan PT Pertamina (Persero), seperti Pertalite dan Solar, selalu berada di bawah harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar. Oleh karena itu, siapapun ingin mengonsumsi BBM bersubsidi, termasuk golongan mampu.
Kondisi ini pada akhirnya menurut dia menyebabkan penyaluran BBM bersubsidi dari dulu hingga saat ini tidak pernah tepat sasaran. Sebab, faktor pengendaliannya diserahkan pada mekanisme kuota.
"Hukumnya, kalau menjual di bawah ongkos, pasti langka. Mau tentara, Kopassus sekalipun diturunkan tidak bisa (melarang penjualan BBM subsidi). Malaikat pun akan membeli yang lebih murah kalau ada dua harga," kata Faisal dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo berjudul "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran", Selasa, 30 Agustus 2022.
Oleh sebab itu, Faisal menyarankan cara lain yang bisa diterapkan pemerintah untuk membendung dampak pergerakan harga minyak mentah dunia ke besaran subsidi adalah dengan memanfaatkan mekanisme fiskal.
Mekanisme fiskal yang bisa digunakan, kata Faisal, bisa dengan menyesuaikan pelaksanaan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap konsumsi BBM. Jika harga minyak sedang tinggi-tingginya, pemerintah bisa memungut PPN 11 persen.
Sebaliknya, jika harga minyak mentah turun, pungutan PPN ditiadakan. "PPN off-kan saja dulu 6 bulan. Itu tepat sasaran sudah pasti langsung," ujar Faisal.
Dengan begitu, ia yakin harga BBM akan otomatis turun ketika harga minyak dunia turun. Sebaliknya, harga BBM akan naik saat harga minyak mentah naik, tapi efeknya bisa diredam tanpa ada subsidi.
Selanjutnya: Dengan mekanisme fiskal, kaya atau miskin akan kena harga BBM yang sama.